Konflik Antar Agama Di Poso

Konflik Antar Agama Di Poso – , Ambon: Keributan kembali terjadi di kota Ambon di Maluku. Sedikitnya 12 orang tewas dan 91 lainnya luka-luka di Kota Ambon pada Minggu 25 April lalu. Selain korban, beberapa bangunan dan rumah juga ikut terbakar di sana. Namun menurut data Polda Maluku, jumlah korban sebanyak 10 orang. Kericuhan massa selama ini diyakini sebagai akibat kekecewaan kelompok Islam atas sikap polisi yang melindungi pendukung Republik Maluku Selatan usai perayaan ulang tahun. Sedangkan korban luka hingga saat ini masih dirawat di beberapa rumah sakit seperti RS Al-Fatah, RS Bhakti Rahayu dan RS Dr Haulussy.

Bahkan, keseruan dimulai pada Minggu pagi. Saat itu, tak kurang dari 51 bendera RMS kembali berkibar di Maluku untuk memperingati HUT ke-54 kelompok separatis tersebut. Melihat situasi tersebut, Polda Maluku langsung berkoordinasi dengan personelnya untuk menurunkan bendera yang sebagian besar digantung di pohon dan gunung. Polisi juga menangkap sedikitnya dua pemegang tiket RMS di Saparua.

Konflik Antar Agama Di Poso

Situasi memuncak ketika rombongan RMS menggelar peringatan HUT ke-54 Forum Kedaulatan Maluku (FKM) RMS di kediaman Dirjennya Dr Alex Manuputty di Kabupaten Kudamati [baca: Bendera RMS Kembali Berkibar di Ambon]. Upacara saat itu dipimpin oleh Sekjen RMS Moses Tuanakota dan dihadiri sekitar 1.000 orang. Dalam acara ini, mereka juga sempat mengibarkan bendera RMS dan UN. Tidak butuh waktu lama polisi datang untuk menurunkan bendera RMS. Dalam konteks ini, polisi juga membawa Musa ke Polres Maluku, diikuti massa yang membawa bendera RMS. Sesampainya di kantor polisi, polisi akhirnya menangkap 24 orang lainnya yang mengaku bertanggung jawab.

Adnan Arsal, Tokoh Di Balik Buku Panglima Damai Poso

Sementara itu, sebagian pasukan RMS yang tidak tertangkap akhirnya pulang. Namun dalam perjalanan, pendukung RMS yang kembali dari Polres Maluku justru diserbu oleh massa yang menyebut dirinya pembela NKRI di sekitar tugu Trikora. Awalnya, kedua massa ini hanya bolak-balik. Namun, aksi memanas hingga terdengar suara tembakan. Massa semakin beringas. Kerusuhan tidak bisa dihindari dan pecah lagi.

Tak hanya di kawasan Tugu Trikora, kerusuhan juga terjadi di beberapa kawasan lain seperti Mardika dan Pokka yang menjadi tempat konsentrasi massa. Di tempat ini massa terprovokasi untuk membakar. Tidak jelas kelompok mana yang memulai kebakaran. Namun, gedung perwakilan PBB di sana adalah gedung pertama yang terbakar. Hotel dan banyak rumah serta tempat ibadah juga ikut terbakar.

Menurut Kapolda Maluku Brigjen Bambang Sutrisno, sebenarnya pihak kepolisian bekerjasama dengan TNI dan instansi pemerintah daerah telah mengantisipasi hajatan tersebut dengan melancarkan Operasi Merah Putih. Bahkan, Polda Maluku juga sudah mengantisipasi sikap RMS Musa Tuanakota yang memprovokasi masyarakat dengan menyebarkan selebaran agar tidak gentar merayakan hari jadi kelompok separatis tersebut. Diketahui, Musa juga mengirimkan surat kepada Presiden Megawati Soekarnoputri berisi rencana peringatan tersebut. “Sejak 24 April malam, puluhan tiket RMS disita dari lokasi terpencil hingga Minggu pagi,” kata Bambang dalam conference call dengan reporter SCTV Bayu Sutiyona, Minggu malam.

Terkait situasi terkini di Ambon, Bambang mengatakan sudah terkendali dalam artian tidak ada konflik baru antar kelompok. Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat dan berusaha mengoreksi informasi yang kurang jelas. Polda Maluku juga telah menutup daerah-daerah yang berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya, jalur angkutan umum dari bandara ke Ambon menjadi hidup di laut. Selain itu, Polda Maluku juga mengumumkan kerusuhan tersebut dan meminta Kapolri Jenderal Da`i Bachtiari menambah pasukan. TNI juga telah melapor kepada Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto.

Poso Yang Tidak Anda Ketahui: Kesaksian Agen Perdamaian Poso, Lian Gogali

Sekedar menyegarkan ingatan, kota Ambon diterjang konflik horizontal pada 19 Januari 1999. Konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kemudian merembet hampir ke wilayah Maluku. Pemerintah akhirnya menerapkan darurat sipil untuk Maluku dan Maluku Utara. Dan berbagai upaya untuk mendamaikan kedua kubu yang bertikai akhirnya membuahkan hasil. Pada pertengahan Februari 2002, pertemuan kedua Malino menghasilkan sebelas kesepakatan damai [baca: Sebelas Final Kesepakatan Malino]. Kedamaian mulai tampak bahkan sehari setelah penandatanganan Malino II, kota Ambon diguncang tiga ledakan [baca: Tiga Ledakan Mengguncang Ambon].

Namun masyarakat Maluku, khususnya di Ambon, tetap bekerja untuk perdamaian. Setelah konflik mereda, pada tanggal 15 September 2003 pemerintah akhirnya mencabut darurat sipil yang dilaksanakan melalui Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2000 Tentang Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara – yang kemudian diubah menjadi Keputusan Presiden. Nomor 40 Tahun 2002. Padahal keadaan darurat sipil di Maluku Utara telah dibatalkan melalui Keppres No. 27 Tahun 2003 tentang pencabutan keadaan darurat sipil di Provinsi Maluku Utara [baca: Keadaan darurat sipil di Maluku dibatalkan] . (ORS/Sahlan Heluth), Makassar – Tak dipungkiri jika menyebut Poso, salah satu kelurahan di Sulawesi Tengah, stigma negatif langsung terlintas di benak. Betapa tidak, kawasan Teluk Tomoni selalu identik dengan kekerasan dan aktivitas separatis yang dilakukan teroris.

Stigma ini muncul sejak kerusuhan yang terkait dengan isu agama muncul di Poso pada tahun 1998, diikuti oleh serangan teroris-separatis di kawasan pegunungan Poso, yang dilakukan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang ditentang Santoso dan anak buahnya. .

Seorang penulis bernama Khoirul Anam ingin mencoba menghilangkan stigma negatif tersebut. Dia menulis sebuah buku berjudul “Muhammad Adnan Arsal, Panglima Perdamaian Poso”.

Moeldoko: Apa Yang Terjadi Di Poso Bukan Persoalan Agama

Haji Adnan, begitu ia akrab disapa, menjadi saksi hidup upaya penyelesaian konflik antarumat yang mengerikan yang terjadi di Kabupaten Poso. Dia menjadi juru bicara kubu Muslim, yang pada saat itu sangat bertentangan dengan agama Kristen.

“Yang membuat saya salut adalah kemampuannya berkomunikasi sehingga Poso akhirnya bisa damai seperti sekarang,” kata Khoirul Anam di Makassar beberapa waktu lalu.

Saat menulis buku “Muhammad Adnan Arsal Pangdam Poso”, Khoirul Anam mengaku banyak kendala. Terutama perasaan penulis Haji Adnan yang kerap menitikkan air mata saat menceritakan bagaimana perjuangannya menghilangkan konflik komunal dari Poso.

“Sering sekali, kadang Haji Adnan, ketika saya wawancarai lagi dan memintanya untuk bercerita tentang kejadian di masa lalu, dia sering menangis,” kata Khoirul Anam.

Latar Belakang Konflik Poso

Khoirul Anam menjelaskan, Haji Adana kerap menjadi sasaran polisi karena dianggap sebagai sosok yang melindungi pelaku perkelahian. Khoirul Anam tidak mempercayai hak tersebut karena nama Haji Adnan tidak pernah dilupakan dalam beberapa perjanjian damai Poso.

“Masih banyak lagi cerita tentang perjuangan Haji Adnan yang siap mengorbankan nyawa demi ketentraman Poso, sehingga Poso kini disebut sebagai kota harmoni,” ujarnya.

* Fakta atau tipuan? Jika ingin mengetahui kebenaran informasi yang dibagikan, cek WhatsApp ke nomor Fak 0811 9787 670 dengan mengetik kata kunci yang diinginkan.

Sementara itu, buku otobiografi Ustaz Adnan secara utuh menceritakan bagaimana ia pernah mencoba mendamaikan konflik kecil antarkelompok yang kemudian dipolitisasi menjadi konflik agama di Poso pada tahun 1998.

Contoh Konflik Antar Agama Di Masyarakat Indonesia Beserta Penjelasannya Singkat

Dia mengatakan kerusuhan telah berlangsung selama beberapa tahun dan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Tak jarang ia juga mendapat ancaman pembunuhan dari kelompok yang ada di Poso saat itu.

“Tidak jarang saya mencoba berdamai. Tapi siang hari damai, malam hari saling serang sampai saling bunuh lagi,” kata Adnan dalam percakapan tersebut.

Secara umum, kerusuhan di Poso terjadi dalam beberapa peristiwa. Yang pertama terjadi pada Desember 1998, ketika terjadi serangkaian bentrokan antara pemuda Muslim dan Kristen. Penyebabnya adalah persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang kebanyakan beragama Kristen dengan pendatang seperti pedagang bugi dan pendatang Jawa yang beragama Islam.

Ketidakstabilan politik dan ekonomi akibat runtuhnya orde baru juga menambah konflik. Hanya saja, lemahnya penegakan hukum saat itu menjadi salah satu penyebab konflik tak kunjung reda.

Konflik Agama: Intoleransi Atau Perebutan Lapak?

Setelah kerusuhan di akhir tahun 1998, konflik berikutnya berlanjut di pertengahan tahun 2000. Bentrok bertopeng isu agama merebak dan merenggut banyak nyawa.

Pada tanggal 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani antara kedua pihak yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan. Meski efeknya tidak terlalu terlihat, kesepakatan itu setidaknya mampu meredam kekerasan frontal dan kriminalitas mulai berkurang di tahun-tahun setelah kerusuhan.

Satgas Madago Raya menembak mati anggota Mujahidin Indonesia Timur yang merupakan petugas pengamanan teroris Poso. Di lokasi pertempuran, petugas menemukan tas berisi senjata tajam dan bahan peledak. Salah satu tantangan terberat bagi Indonesia pasca reformasi adalah menata hubungan antarkelompok secara damai dan berkeadilan. Konflik kekerasan antaragama di Poso Sulawesi Tengah, yang terpanjang di Indonesia, menawarkan banyak pelajaran berharga. Ini tidak hanya terkait dengan radikalisasi tetapi juga dengan deradikalisasi.

Dave McRae, seorang peneliti di University of Melbourne di Australia, yang melakukan penelitian tentang konflik Poso selama sembilan tahun.

Kebun Sayur Organik, Tempat Pertemuan Antar Umat Beragama Di Poso

Pada peluncuran buku dan diskusi publik, “Radikalisasi dan Deradikalisasi di Indonesia: Pelajaran dari Kasus Poso,” di kantor Dana Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Senin, 23 Januari 2017, Dave McRae didampingi dua pemateri lainnya: Ihsan . Ali-Fauzi Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina dan Solahudin (

Secara khusus, Dave menjelaskan bagaimana radikalisasi di Poso bisa mencapai titik kritis ketika kelompok mujahidin datang untuk menyebarkan ideologi jihadi di Poso. “Konflik ini merupakan arena para jihadis membangun radikalisme,” jelas Dave. Awalnya, Mujahidin membentuk aliansi strategis dengan penduduk setempat untuk melancarkan serangan balasan terhadap kelompok Kristen. Dave menegaskan bahwa penerimaan agenda keagamaan mudah diterima jika konteks konflik yang sedang berlangsung tidak hanya bersifat misional, tetapi telah mendapatkan momentumnya.

Dalam kasus Poso, para mujahidin berkumpul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like