Tenun Sumba Berasal Dari Daerah

Tenun Sumba Berasal Dari Daerah – Di musim kemarau seperti sekarang, hanya ada rerumputan emas di perbukitan Sumba dari timur ke barat. Keindahan Sumba berbeda dengan banyak daerah lain di Indonesia, bahkan dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Nusa Tenggara Timur.

Sabana adalah lanskap dominan di pulau itu, hanya sepanjang 210 km dari timur ke barat dan lebar 50 km dari utara ke selatan. Pasir di pantai berwarna putih lembut, laut biru berpadu dengan biru tua dan langit biru membentuk kontras yang nyata.

Tenun Sumba Berasal Dari Daerah

Diserang, sapi, kuda, dan kambing berserakan di dataran. Tiba-tiba ada sebuah pohon dengan beberapa daun hijau. Yang lainnya tetap berada di dahan, seperti cakar setelah daun rontok karena kekurangan air.

Kain Tenun Sumba Kaya Cerita

Salah satu pemandangan yang indah ada di Bukit Wairinding yang terletak di tepi jalan raya Sumba timur ke barat. Dari salah satu puncak bukit terlihat jalan raya yang berkelok-kelok, hanya sesekali terlihat oleh mobil. Sisanya adalah perbukitan rerumputan emas.

Sumba akhir-akhir ini menjadi perbincangan para pertapa dalam dan luar negeri setelah keindahan dan kekayaan budayanya tersebar luas. Pasola adalah perayaan paling terkenal di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya yang diadakan setahun sekali. Prajurit yang menunggang kuda yang dibungkus tekstil sambil memegang tombak akan saling menusuk. Darah harus mengalir melalui luka karena ini adalah bagian dari kepercayaan Marapu demi tanah yang subur.

Salah satu keindahan Sumba adalah pantai pasir putihnya, seperti Pantai Valakiri, Desa Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur.

Kuda bukan sekadar kendaraan, melainkan bagian dari perlengkapan adat Sumba, seperti di Kanatang, Sumba Timur, 30 Agustus 2018.

Kain Tenun Khas Waingapu Sumba Timur

Sumba juga dikenal dengan batu nisan untuk orang mati. Batu nisan ditemukan di setiap rumah dan ada banyak desa yang terkenal dengan batu nisan Menhirnya. Salah satunya di Ratangero, Sumba Barat Daya.

Lalu ada Nihi Watu, resort di Sumba Barat yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Ada juga perancang busana, Biyan Wanaatmadja, yang bermitra dengan Bank Indonesia untuk mempromosikan tekstil Sumba yang kaya corak dalam rancangan pakaiannya.

Jalan mulus terbentang dari Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, hingga Waitabula, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya. Di jalan raya, hanya sesekali menabrak kendaraan roda empat. Lebih umum bertemu kerbau, sapi, kuda atau kambing di padang rumput kuning daripada bertemu penduduk. Populasi Sumba hanya 800.000 pada tahun 2016.

Di musim kemarau, air sulit didapat. Beberapa kali dalam perjalanan saya dari Kamis hingga Jumat (30-31 Agustus 2018) sore itu, saya menjumpai anak-anak berseragam putih dan merah, beberapa di antaranya bertelanjang kaki dan pendek. Mereka biasanya berjalan kaki 2-3 km dari rumah ke sekolah. Setelah makan malam, Anda bisa melihat anak perempuan dan laki-laki membawa jerigen berisi air. Musim kemarau memaksa mereka berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih untuk minum dan memasak.

Stube Hemat Sumba

Perancang busana Biyan Wanaatmadja (tengah, berkacamata) dan arsitek Yori Antar (ketiga dari kanan) saat meresmikan Museum Tekstil Atma Hondu, Weetabula, Sumba Barat Daya.

Kebanggaan terhadap budaya Sumba diajarkan sejak dini, antara lain dengan mengenakan pakaian tenun. Siswa SD Praipha, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Sumba Timur.

Sifatnya yang mentah dan mentah memiliki nuansa mistis, seberat batu yang menghiasi jalan yang membentuk pribadi Sumba. Adat dan kepercayaan Marapu membuat Sumba unik. Menurut seorang tokoh kemanusiaan dan keagamaan Keuskupan Redemptoris Sumba, Pastor Robert Ramone CSsR, kepercayaan Marapu pada dasarnya adalah animisme, mengajarkan tentang keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam semesta. Di mana orang mencapai kebahagiaan yang mereka inginkan.

Semua kisah hidup, jalan rindu menuju surga, peristiwa sekitar, tertulis di atas kanvas anyaman. Tekstil di Sumba bersebelahan. Dalam gaya ini adalah kisah asal usul manusia, lahir, besar, sampai mati.

Tenun Sumba Has Arrived!

Seperti kebanyakan orang Indonesia, di Sumba, peran pakaian juga sangat penting. Dalam kehidupan sehari-hari, beberapa wanita masih menenun kain. Laki-laki dan perempuan akan mengenakan kain tenun kebanggaan mereka saat berkumpul bersama, untuk tujuan apa pun. Corak dan warna akan menceritakan kepribadian dan asal usul pemakainya.

Peran pakaian dalam masyarakat Samba sangat penting sehingga ketika seseorang meninggal, tubuhnya harus ditutup dengan tekstil. Semakin tinggi posisi orang yang meninggal, semakin banyak kain yang melilit tubuhnya.

Menenun menjadi pekerjaan perempuan. Tujuan awalnya adalah membuat pakaian untuk pria sebagai tanda hormat dan cinta. Orang-orang akan memakai kain tenun sampai pria itu menggunakannya untuk menutupi tubuhnya. Tentu saja, wanita juga menenun kain dari masa puber dengan ilmu yang dia terima dari ibu dan neneknya. Saat pesta pernikahan, barang-barang terbaik akan dibawa ke rumah mempelai pria dan diberikan kepada anak-anak.

Model kuda, ayam, burung beo, rusa, dan buaya menunjukkan kepemimpinan. Kuda merupakan hewan penting di Sumba, sebagai kendaraan atau lambang kekayaan. Ketika seseorang yang berstatus tinggi meninggal, seekor kuda dikorbankan, yang darahnya membasahi tanah untuk mengenang roh.

Tas Selempang Kain Tenun, Aksesoris Berkualitas Ciri Khas Indonesia

Misalnya, seekor ayam jago memimpin 10 ekor ayam. Rusa selalu berjalan dengan kepala terangkat tinggi memandang ke depan, seperti seorang pemimpin. Burung beo selalu terbang bersama, melambangkan orang Sumba untuk menyelesaikan semua masalah bersama.

Seorang raja Sumba bernama Ana Wuya Rara, buaya yang menakutkan. Istri raja disebut Ana Kara Wulang, khusus kura-kura adalah pasangan buaya. Saat terbalik, kura-kura membutuhkan bantuan pihak lain untuk membalikkannya. Kedua pola ini melambangkan bahwa raja dan ratu harus sabar, melindungi dan mengingat rakyatnya. Keduanya tidak bisa hidup sendiri tanpa orang.

Pada umumnya perempuan Sumba menenun kain sebagai pekerjaan sampingan setelah mengurus rumah, anak, suami, dan babi. Bagi Karyawati Liwar (47 tahun) asal Kampung Prailiu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur, menenun merupakan kelanjutan dari sejarah leluhur, baik dari makna di balik pola maupun teknik pembuatannya.

“Dalam kostum ada cerita dari setiap gambar,” ujarnya dalam pameran di Rumah Budaya Sumba di Langgalero, Weetabula, Sumba Barat Daya, Rabu sore (29/8/2018). Itu sebabnya pola seperti ayam, kuda, buaya, kura-kura, patola ratu dan papanggang untuk pemakaman raja tetap ada, meskipun motif baru muncul seiring dengan perubahan waktu.

Makna Filosofis 14 Motif Tenun Dari Nusa Tenggara — Astin Soekanto

Antropolog Mitu M Prie menjelaskan bahwa kawasan Nusa Tenggara Timur termasuk dalam peradaban megalitik tua yang dipengaruhi budaya Proto-Melayu dan Austronesia pada tahun 2000 SM dan Neolitik. Ciri-ciri ornamen budaya yang berbeda adalah ornamen geometris, kontak dengan alam dan penyulingan. Budaya megalitik masih kental di Sumba, terlihat pada arca, batu nisan, dan tekstil. Sampai saat ini fungsi tekstil masih berkaitan dengan fungsi utama budaya megalitik yaitu kepercayaan terhadap alam, dewa-dewa, nenek moyang dan interaksi dengan alam semesta.

Ornamen megalitik tampak berupa wajah manusia yang mirip topeng; Pola geometris berupa lingkaran, segitiga, persegi panjang, belah ketupat atau garis berpotongan; hewan seperti kuda, unggas, gajah, iguana, buaya, ikan, kura-kura dan ayam; tanaman; dan pola lain seperti tali dan kain. Idiom megalitik memiliki beberapa makna, mulai dari keindahan yang sederhana, hingga menggambarkan siklus kehidupan dari lahir sampai mati; Pergi ke simbol pemujaan alam spiritual dan leluhur. “Pola tenun berasal dari budaya megalitik. Bentuk ini menunjukkan kesetiaan kepada leluhur,” kata Mitu.

Sampai saat ini masih ada perempuan Sumba yang berprofesi sebagai penenun, mulai dari memintal kapas menjadi benang. Hingga 50 tahun yang lalu, kapas ditanam secara luas dan pewarna digunakan dari bagian tanaman, seperti tarum untuk warna biru dan noni untuk warna merah. “Dengan cara ini, ada hubungan yang harmonis antara alam dan manusia,” kata Robert Ramone.

Kain yang terbuat dari kapas yang dipintal sendiri terasa lebih tebal dan kasar. Baru-baru ini, kapas telah menurun. Serat nabati lebih mudah ditemukan dan sebenarnya lebih mudah menggunakan serat nabati untuk ditenun.

Jual Buku Tenun Sumba: Membentang Benang Kehidupan Karya Koleksi Etty Indriati

Dalam pemintalan dan pencelupan dan kemudian menenun, beberapa kondisi melekat. Penenun percaya bahwa wanita menstruasi tidak dapat melakukan proses pencelupan, jika tidak mereka tidak akan mendapatkan warna yang diinginkan.

Kini tenun Sumba semakin populer di luar batas geografis pulau, kesadaran mulai muncul untuk melestarikan makna asli kain tersebut. Ibu-ibu boleh menenun untuk kepentingan ekonomi, namun nilai-nilai budaya dan makna filosofis dalam kain tersebut tidak boleh luntur dan diwariskan.

Robert Ramone yang memimpin Rumah Budaya Sumba di Vitabula sebagai sumber ilmu pengetahuan Sumba bekerja sama dengan Yayasan Rumah Nurturing yang dipimpin oleh arsitek Yori Antar, yang juga membangun rumah anyaman bersebelahan dengan rumah tradisional. Dana pembangunan berasal dari orang atau organisasi yang termotivasi untuk menumbuhkan ekonomi kerakyatan. “Kami mengirimkan uang langsung ke masyarakat, kami mengontrol pembangunannya,” kata Robert.

Yori bertekad membangun delapan Rumah Tenun di seluruh Sumba, bekerja sama dengan para donatur dan warga sekitar. Tujuannya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui kerja perempuan. Di rumah tenun, para penenun bisa memilih untuk membicarakan banyak hal, termasuk memamerkan kainnya.

Kain Tenun Suku Baduy

Tangan penenun juga mewarnai kain. Tekstil Kanatang, Sumba Timur, terkenal dengan warna hijau alami dari pohon tarum.

Salah satu museum penenun dan kain Sumba, Atma Hondu, di kompleks rumah budaya Sumba di Langgalero, Weetabula, Sumba Barat Daya, diresmikan Rabu (29/8/2018) oleh perancang busana laman Biyan Wanaatmadja. Selain itu, Rumah Tekstil Atma La Kanatang juga diresmikan di Desa Kanatang, Sumba Timur pada Kamis, 30 September. Desa ini dikenal dengan warna hijau yang berasal dari daun nila. Dana pembangunan Rumah Weaver berasal dari sponsor yang hadir di fashion show Bayan.

Bayan mengatakan: “Untuk apa membangun rumah anyaman, karena di antara kemajuan teknologi digital, dimana semuanya serba mekanis dan virtual, orang akan kehilangan segala sesuatu yang menyentuh dan melibatkan emosi manusia”. Dalam tenun Sumba tercatat sejarah dan pengalaman masyarakatnya yang menurut Bayan harus diwariskan kepada generasi berikutnya.

Seiring semakin terkenalnya Sumba, semakin banyak orang yang berburu kain Sumba. Tidak ada harga standar untuk selembar kain. Kain yang membutuhkan setidaknya tiga bulan pengerjaan, dengan ukuran dan pengerjaan yang sama, dapat bervariasi harganya beberapa kali lipat. Tak heran jika proses tawar menawar menjadi rutinitas dan terkadang bisa membuat frustasi karena kelelahan.

Kain Tenun Khas Bali

Ini bukan hanya masalah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like