Kasus Pelanggaran Ham Di Indonesia

Kasus Pelanggaran Ham Di Indonesia – Hak Asasi Manusia atau biasa disingkat HAM adalah konsep bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang adil dan setara. Namun, masih banyak pelanggaran HAM yang belum terselesaikan di Indonesia.

Kasus HAM di Indonesia beragam. Setiap tahun, Hari Hak Asasi Manusia diperingati sebagai pengingat untuk mendukung semua kasus pelanggaran HAM, terutama yang tidak segera diselesaikan.

Kasus Pelanggaran Ham Di Indonesia

Di Indonesia sendiri, Ketua Kamnas HAM melaporkan bahwa banyak berkas terkait pelanggaran HAM ternyata masih tersedia. Kasus-kasus ini juga sedikit berbeda dari tahun ke tahun, terutama kasus-kasus lama yang terus bertambah setiap musim.

Menanti Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat

Di bawah ini adalah beberapa kasus HAM yang masih tertunda di Indonesia. Karena Kamnas HAM hanya dapat menjalankan tugasnya pada tahap penyidikan, dan tahap lanjutan merupakan hak Kejaksaan Agung.

Munir Saeed Thalib adalah seorang aktivis HAM pada masa Orde Baru. Dia melakukan banyak pekerjaan dalam perlindungan hukum orang-orang yang tertindas.

Salah satunya adalah pelindung keluarga korban penculikan paksa pada 1997 dan 1998. Padahal, Munir saat itu adalah anggota Contras yang menjaga orang hilang, diculik atau hilang.

Selain mengadvokasi korban penculikan dan penghilangan paksa, Munir juga pengkritik pemerintahan Orde Baru yang dinilai banyak melakukan pelanggaran.

Penanganan Kasus Pelanggaran Ham Butuh Terobosan Baru

Saat itu, mengkritik pemerintah sangat berbahaya. Kebebasan berbicara tidak sebaik sekarang, dengan negara menindak pengkritiknya sendiri.

Pemeriksaan tim medis forensik Belanda menemukan senyawa arsenik di tubuh Munir. Ada kecurigaan bahwa beberapa pihak sengaja meracuni para pembela HAM ini karena menahan diri untuk tidak mengkritik mereka.

Kasus Munir dapat dianggap sebagai salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling berat, selain perampasan haknya untuk diam dan bersuara, penghilangannya secara paksa.

Kasus Munir membuat banyak aktivis mengkhawatirkan keselamatan mereka ketika mengkritik pemerintah atau otoritas lainnya.

Arah Legislasi Dan Penantian Penuntasan Kasus Ham Di 2021

Peristiwa berdarah G30SPKI berakhir dengan banyak tanda tanya dan dikecam berbagai pihak. Pada tahun 2012, investigasi oleh Kamnas HAM menemukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius setelah insiden tersebut.

Di antara mereka yang tewas dalam peristiwa itu adalah anggota PKI dan banyak organisasi sosial lainnya yang berada di jalan yang sama. Bahkan, banyak pula warga sipil yang tewas akibat kecelakaan itu, karena dianggap anggota PKI, padahal bukan.

Setelah Kamnas diidentifikasi oleh HAM dan dibawa ke Kejaksaan Agung, kasus ini sedang dalam peninjauan. Terakhir, pada tahun 1965 korban pembantaian dan kematian diperkirakan sekitar 1,5 juta orang, dan kemungkinan besar jauh lebih tinggi.

Namun demikian, kasus tersebut mempolarisasi masyarakat Indonesia, dengan banyak orang Indonesia yang membenci PKI di satu sisi, tetapi juga mencurigai kekejaman TNI dan elemen lain dalam perang melawan PKI. Bahkan lebih banyak warga sipil yang menjadi korban serangan balik ini.

Infografis: 11 Pelanggaran Ham Tes Wawasan Kebangsaan Kpk

Peristiwa Tanjung Praik merupakan salah satu pelanggaran HAM yang terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa itu bermula dari kedatangan sersan di Masjid Saada di Tanjung Prieok.

Tentara itu memerintahkan pengurus masjid untuk mencopot spanduk yang mengkritik pemerintah saat itu, Orde Baru. Mendengar permintaan ini, masjid menolak untuk mempublikasikannya karena prinsip dan kebebasan berekspresi.

Karena tidak menerimanya, sersan yang berdiri di sana dengan paksa melepaskan spanduk dari masjid. Sayangnya, mereka ceroboh dan tidak melepas sepatu terlebih dahulu.

Hal ini membuat marah pengurus masjid dan warga setempat, karena sangat tidak senonoh. Akhirnya mereka membakar sepeda motor dan menghajar sersan yang masuk tanpa izin dan melepas sepatunya.

Infografis: Kelanjutan Kasus Pelanggaran Ham Berat

Sebagai tanggapan, pengurus masjid dan warga sekitar yang ikut serta dalam penyerangan tersebut ditangkap dan dipenjarakan. Dua hari kemudian, warga Muslim Tanjung Praik memprotes dan menuntut kebebasan teman-temannya.

Situasi memanas karena tentara tidak mendengarkan tuntutan mereka. Kerusuhan akhirnya pecah dan tentara melepaskan tembakan untuk membubarkan para demonstran.

Menurut angka resmi, 24 orang tewas dan 54 luka-luka dalam insiden tersebut. Namun, diperkirakan lebih dari 100 warga Tanjung Priok tewas, hilang atau luka-luka selama demonstrasi.

Pada masa Orde Baru, dari 13 Mei hingga 15 Mei, terjadi kerusuhan besar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan itu mungkin dipicu oleh ketidakpuasan publik terhadap krisis keuangan dan ekonomi yang sedang melanda Asia, atau dikenal sebagai krisis keuangan (Krismon).

Kasus Ham, Jokowi Didesak Cabut Bintang Jasa Eurico Guterres

Situasi di masyarakat semakin memburuk setelah 4 mahasiswa Treski tewas saat demonstrasi pada 12 Mei lalu.

Terlepas dari semua fakta tersebut, hingga saat ini belum ada keputusan yang jelas dalam kasus Trisketi dan kasus Semingi. Instansi pemerintah juga mengalami kemalasan dalam mengambil tindakan korektif.

Marcina adalah seorang pekerja pabrik yang tinggal di Jawa Timur. Dia juga seorang aktivis terkenal di era “Orde Baru”.

Pada tahun 1993 Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang memerintahkan perusahaan-perusahaan di Jawa Timur untuk menaikkan upah sebesar 20 persen dari gaji pokok. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pekerja dan mengurangi kemiskinan.

Foto: 24 Tahun Reformasi, Mahasiswa Trisakti Tuntut Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham

Namun, PT Katur Putra Surya, tempat Marcena bekerja, tidak begitu setuju dengan usulan tersebut. Mereka menolak banding tersebut karena akan menambah biaya operasional pabrik dan mengurangi margin keuntungan.

Akibatnya, Marcena dan kawan-kawan melakukan aksi mogok dan demonstrasi pada 3 dan 4 Mei 1993. Selain demonstrasi, Marcena dan 13 perwakilan buruh mengadakan pembicaraan diplomatik dengan pihak pabrik.

Mereka berharap perusahaan memanfaatkan kenaikan upah tersebut. Sayangnya, perdebatan berlangsung sengit dan gagal membuahkan hasil.

Pada sore hari tanggal 5 Mei, 13 orang teman Marcena ditangkap oleh Kodam Sudvarjo dengan tuduhan menjauhkan pekerja dari pekerjaan dan mengadakan pertemuan rahasia.

Aktivis Di Banjarmasin Kenang Korban Pelanggaran Ham Lewat Aksi September Hitam

Mereka dipaksa mengundurkan diri dan menghentikan tindakan terhadap perusahaan. Setelah itu, Marcina mendatangi Codem untuk menanyakan kondisi rekan-rekannya.

Malam itu, Marcena menghilang tanpa sepatah kata pun, dan tidak ada teman-temannya yang tahu keberadaannya. Teman-teman Marcina mencari selama tiga hari tiga malam, tetapi dia tidak dapat ditemukan.

Marcena ditemukan tewas pada 8 Mei 1993. Menurut hasil tes forensik, Mersena mengalami siksaan berat sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Dari tahun 1990 hingga 1998, rakyat Asia mengalami kerusuhan dan pemberontakan. Salah satu alasannya adalah karena mereka marah kepada pemerintah saat itu dan memilih untuk memisahkan diri.

Kasus Ham Berat Yang Masih Belum Terselesaikan

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah Indonesia melancarkan operasi militer untuk mengamankan wilayah Aceh. Sayangnya, operasi militer yang seharusnya berjalan damai ini menjadi bukti kebrutalan TNI dalam menumpas pemberontak saat itu.

Akibat operasi militer tersebut, banyak kasus pelanggaran HAM yang terungkap. Dalam operasi tersebut, tidak hanya pemberontak yang terbunuh, tetapi juga warga sipil yang terbunuh, yang seringkali salah tempat atau dicurigai sebagai pemberontak.

Banyak orang Aceh meninggal akibat operasi selama 8 tahun itu. Menurut laporan, 9.000 hingga 12.000 orang meninggal.

Oleh karena itu, pengendalian dan penumpasan pemberontakan Aceh merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang paling berat di Indonesia.

Pembentukan Tim Ad Hoc Kasus Munir Diminta Transparan Dan Libatkan Sipil

Tragedi pelanggaran HAM juga terjadi di Papua yang sering disebut dengan tragedi Wamena. Peristiwa ini terjadi pada pagi hari April 2003.

Peristiwa itu bermula dari perampokan bersenjata di markas Kodam Wamina, dimana para penyerang melarikan diri dengan membawa amunisi dan senjata. Dua anggota Codem tewas dalam serangan itu, termasuk Lettu TNIAD Napitolo dan prajurit Ruben Kana, yang menjaga gudang senjata.

Petugas polisi TNI menangkap dan menyiksa warga setempat untuk menemukan para pembunuh. Sayangnya TNI dan masyarakat sekitar Polri diperlakukan secara brutal.

Tragedi tersebut telah memakan banyak korban jiwa, mulai dari penangkapan paksa, penggusuran paksa warga, hingga pencarian pelaku kejahatan yang masih buron.

Pelanggaran Ham Dalam Hubungan Kerja

Dilaporkan dalam laporan bahwa selama migrasi paksa, 42 orang meninggal karena kelaparan dan 15 orang menjadi korban pendudukan paksa.

Kamnas HAM yang menyelidiki kasus tersebut menemukan berbagai tanda paksaan untuk menandatangani petisi, serta perusakan fasilitas umum. Bahkan di Kejaksaan Agung, tidak ada kemajuan dalam kasus ini karena ketegangan antara lembaga hukum yang berbeda.

Tragedi Wamena kembali mengemuka dan santer diberitakan setelah belakangan ini terjadi tragedi yang melibatkan mahasiswa Papua yang didiskriminasi oleh polisi. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum sekali lagi didesak untuk menuntaskan kasus ini.

Pada tahun 1989, terjadi peristiwa di kota Lampung di Sumatera yang merupakan pelanggaran HAM berat. Pada Maret 2005, Kamanas meluncurkan penyelidikan atas insiden Telangsari di wilayah HAM.

Pengadilan Ham Paniai Jadi Barometer

Dua bulan kemudian, Kamnas HAM menyerahkan bahan pemeriksaan ke Kejaksaan Agung yang menyebutkan bahwa peristiwa tersebut mengandung beberapa unsur pelanggaran HAM berat. Proyek tersebut masuk dalam daftar kasus pelanggaran HAM pada 2006 namun hingga kini kasus tersebut belum selesai.

Kejadian ini terjadi karena adanya rumor adanya kelompok Islam yang ingin mengkhianati pemerintah. Pemerintah waktu itu memang sangat menindas dengan konsep tunggal Pancasila, tetapi tidak mungkin untuk menghentikannya.

Jadi mereka datang ke kelompok ini bersama sipir, kepala desa, kapten dan komandan polisi setempat dan meminta informasi. Sayangnya, kedatangan rombongan besar ini dianggap sebagai penyerangan oleh pemerintah dan panah-panah ditembakkan ke arah pertemuan tersebut.

Sebagai tanggapan, TNI dan polisi mengepung dan menyerang kelompok tersebut keesokan harinya

Soal Kasus Pelanggaran Ham Berat, Praktisi Hukum: Back To Islam Kafah, Adil Untuk Seluruh Masyarakat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like